Pages

Wednesday, July 27, 2011

Sir Alex dan Raja Kecil

Manchester United adalah salah satu tim sepak bola paling sukses dalam sejarah. Sampai sekarang mereka adalah pengkoleksi gelar liga premier Inggris terbanyak yaitu dengan 19 gelar, 11 kali juara piala FA, dan dua kali juara Liga Champion UEFA.

Yang patut dicatat disini adalah dari sekian banyak gelar itu dipersembahkan ketika United dilatih Sir Alex Ferguson. Pelatih yang sekarang berusia 69 tahun ini berkuasa di Old Trafford sejak 1986 sampai sekarang. Pelatih yang satu ini sangat berintegritas. Dia sangat yakin dengan apa yang dilakukannya. Tidak heran kalau dalam masa kepemimpinannya banyak pemain yang dulu zero jadi hero. Atau yang sudah hero menjadi superhero. Tapi yang namanya manusia ya, kalau sudah tumbuh makin 'tinggi' pasti ada yang berubah. Entah itu cuman sekedar penampilan atau bahkan mungkin sifat dan perangainya. Disinilah kejelian Sir Alex dalam mengelola tim terlihat.

Tidak terhitung berapa pemain yang dia rekrut dan dibesarkan. Tapi tidak sedikit juga pemain besar yang dibuang begitu saja. Sebut saja Eric Cantona, David Beckham dan terakhir Cristiano Ronaldo. Siapa sih yang meragukan kemampuan mereka? Tapi kenapa Sir Alex melepas mereka? Jawabannya simpel saja... Sir Alex tidak mau ada raja-raja kecil dalam timnya. Sikap pemain yang jadi raja-raja kecil itu akan merusak harmonisasi tim dan akibat buruknya akan merusak mental pemain-pemain muda. Walaupun kebijakan ini hampir selalu ditentang fans United, tapi Sir Alex tetap bergeming dan membuktikan bahwa kehilangan mereka yang menjadi raja-raja kecil itu tidak menghalangi tim untuk terus berprestasi.

Cerita tentang raja-raja kecil di Manchester United itu sekarang terjadi di lingkunganku. Bedanya, bukannya seperti Sir Alex, raja-raja kecil itu malah seperti dibina, dimatangkan, dan didengarkan. Akibatnya mulai terjadi overlapping antara satu tugas dengan tugas yang lain masing-masing orang. Selain itu pemimpin juga lebih mendengarkan bisikan raja-raja kecil dibandingkan saran dari ahlinya. Konyolnya lagi raja-raja kecil mulai memanfaatkan kedekatannya dengan pemimpin untuk menyingkirkan orang yang nggak mereka sukai.

Aku jadi khawatir, kondisi ini kalau dibiarkan lama-lama bisa merusak tim. Padahal di situasi yang sulit sepeti sekarang kekompakan tim harus kuat. Ya aku rasa tim ini butuh seseorang seperti Sir Alex. Tegas, berintegritas, dan adil. Dan untuk orang-orang yang menjadi raja-raja kecil, sadarlah. Karena yang kalian lakukan itu merugikan tim. Berhentilah menjilat dan mencari muka. Bekerja lebih giat adalah hal yang lebih diperlukan untuk menjadi lebih maju.

Sent from Android phone

Saturday, July 23, 2011

Jazz Gunung

Akhirnya baru sempat juga nulis soal Jazz Gunung ini. Jadi ceritanya tanggal 9 Juli kemarin aku dan kekasihku dapat kesempatan langka untuk bisa nonton salah satu event musik yang kuidam-idamkan pengen kutonton sejak 2 tahun lalu, Jazz Gunung. Pagelaran musik jazz dengan nuansa yang unik. Kenapa unik, karena diadakan di ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut. Tepatnya di kompleks hotel Java Banana Bromo.


Stagenya yang menyatu dengan alam, ditambah dengan udara dingin menggigil rasanya memberikan sensasi yang berbeda untuk sebuah konser musik di iklim tropis seperti di Indonesia sini. Bayangin aja, hampir separuh konser badan menggigil kedinginan (karena jaket yang kurang tebel), dan umbel yang mbeler nyaris tidak dirasakan karena saking asyiknya bergoyang mendengarkan lagu-lagu jazzy dari Kelompok Perkusi Keramat Madura, Tohpati Ethnomission, Kua Etnika, Trie Utami, Maya Hasan, dan Glenn Fredly.


Pertunjukan diawali dengan penampilan Kelompok Perkusi Keramat Madura. Menurut ceritanya, mereka adalah sekelompok pemuda dari Madura yang pada saat terjadi krisis listrik beberapa tahun lalu secara kreatif membentuk grup perkusi ini dengan peralatan yang seadanya. Hampir semua yang digunakan adalah alat bekas. Bahkan mereka bilang kalau drum yang digunakan itu sebenarnya adalah bekas tempat ikan. Tapi jangan sekali-sekali meremehkan, mereka tampil bagaikan maestro perkusi jazz papan atas. Dan walaupun kita semua yang mendengarkan nggak tau apa arti lagunya, tetap saja asik dan nggak bosan mendengarkan. Lagu-lagu yang mereka mainkan semuanya bertempo cepat dan khas Madura, karena bahasanya bahasa Madura. Tapi bunyi-bunyian alat musik tiupnya seolah-olah memberikan kesan modern sekaligus nuansa ceria di dalam musiknya. Dan show mereka berakhir dengan standing ovation buat Kelompok Perkusi Keramat Madura.


Tohpati Ethnomission melanjutkan suasana seru ini dengan penampilan yang memukau. Beberapa lagunya yang jujur saja aku nggak ngerti, seperti membius ratusan penonton yang hadir. Tohpati memainkan beberapa lagu sampai matahari terbenam, seperti Janggiran, Budaya Ketawang, dan Perang Tanding. Lagu yang terakhir ini mengejutkan penonton dengan adanya perang tanding antara drum versus gendang dan seruling versus gitar.


Ketika hari sudah semakin gelap, Jamaah Al Jazziah (begitu Butet menyebut penonton) makin dimanjakan oleh Djaduk dan Kua Etnika-nya yang menampilkan Trie Utami dan Maya Hasan (harpa). Dari sekian banyak lagu yang dinyanyiin mereka, satu yang nyantol di otakku. Raising Sun judulnya. Lagu hasil kolaborasi Kua Etnika dan Maya Hasan ini menurut Djaduk bercerita tentang keindahan sunrise di gunung Bromo.

Dan puncaknya adalah... Glen Fredlyyyyyy!!!!!


Malam itu Glenn tampil beda dengan menyanyikan lagu-lagu bertemakan cinta yang berirama riang. Jangan harap ada lagu-lagu sedih muncul. Yang ada seperti Kala Cinta Menggoda-nya Chrisye, Timur, You're My Everything, Cukup Sudah, Kisah Romantis dan beberapa lagi. Tidak lupa Glenn menyisipkan pesan doa untuk Utha Likumahua yang sedang sakit dengan menyanyikan lagu Esok Kan Masih ada. Dan konser malam itupun ditutup dengan penampilan jam session dari semua artis yang tampil.

That night was great!! Jazz dan Bromo adalah perpaduan yang asik untuk menikmati musik. Semoga tahun depan masih ada dan masih berkesempatan untuk menonton dengan kondisi yang lebih manusiawi. Karena malam itu kami harus menginap di mobil untuk menunggu matahari terbit dan kembali ke Surabaya.

Friday, July 1, 2011

Samsung Galaxy Ace

Setelah menunggu dan menunggu akhirnya bulan Juni kemarin kesampaian juga beli android, dan device yang kupilih adalah Samsung Galaxy Ace. Kenapa? Soalnya fitur yang ditawarkan paling masuk akal buat kebutuhan dan kegiatanku sehari-hari.

Mengusung OS Android froyo 2.2, Ace ini terasa menyenangkan. Apalagi didukung processor 800 Mhz yang rasanya terbesar di kelas android menengah. Lebih cepat dan responsif walau kadang masih suka mbrebet kalau mutitasking. Tapi masih dalam batas kewajaran.

Layarnya yang selebar 3,5" memang rasanya jadi kurang lebar kalo sudah ngerasain gimana serunya berandroid ria. Tapi ya sudahlah apa boleh buat. Layar segede ini juga udah pas di kantong celana. Apalagi sudah mengakomodasi 16 juta warna dengan TFT captivative touch screen yang jernih lumayan responsif. Kenapa aku bilang lumayan, karena ada kalanya layar ace ini telat respon maklum internal memorinya cuman 158 Mb. Tapi itu bisa diakali untuk pengguna yang sudah advance.

Kalau buat internetan dukungan 3G HSDPA sampai 7,2 Mbps ini entah kenapa terasa kencang buatku yang terbiasa pakai Samsung Valencia. Tinggal pakai internet paket unlimited, semuamuamuanya beres.
Buat yang suka foto-foto, jangan kuatir. Kamera 5 MP beresolusi 2592x1944 yang dilengkapi dengan flash sudah tertanam sempurna di Ace. Apalagi dilengkapi fitur-fitur shoot mode seperti yang ada dalam kamera digital pada umumnya, plus masih ada fitur smile detection yang seru.

Buat yang kerjaan kantornya dibawa sampai mati, tenang aja.. Ace sudah dilengkapi Thinkfree Office sehingga kita bisa mengedit dan menbuat dokumen word, excel dan powerpoint layaknya di PC. Plus konektivitas dengan google service yang tak terbatas. Soal ketik mengetik, swype keyboardnya walaupun kurang membantu buatku tapi seru juga kok ehehe...

Yang suka berGPS ria jangan kuatir, Ace sudah A GPS support jadi kalau mau diinstali aplikasi GPS gak masalah. Enggak diinstalipun sudah ada google map yang siap bantu kita jalan kemana saja.

Nah kalau soal batere, emm... Boros. Apalagi kalau kita orangnya aktif online. Siap siaga charger ke manapun kita pergi. Kalau penggunaanku sih jam 5 pagi penuh, maksimal jam 6 sore udah ngecharge lagi. Yang jelas harga Ace ini cukup setimpal dengan fitur-fitur yang kita dapatkan. Dan boleh dibilang iphone wannabe ini mantap buat dibeli kalau kita kurang mampu beli iphone wkwkwkwk...

Btw review ini ditulis pake Ace lho :p